Jumat, November 16, 2007

Perlakuan Terhadap Harta Wakaf

I. Ibdal dan Istibdal (Penggantian Barang Wakaf)

Ibdal: Menjual barang wakaf untuk membeli barang lain sebagai gantinya (penukaran).

Istibdal: Menjadikan barang lain sebagai pengganti barang wakaf asli yang telah dijual (penggantian).


A. Mazhab Hanafiyah

1. Hukumnya boleh, oleh siapapun, baik wakif sendiri maupun orang lain maupun hakim tanpa menilik jenis barang yang diwakafkan baik itu berupa tanah yang dihuni (terurus), tidak dihuni (tidak terurus), bergerak (manqul) maupun tidak bergerak (iqar).

Alasan: -Maslahat

-Toleran dan keleluasaan.

2. Klasifikasi ibdal dan istibdal sesuai dengan kehendak wakif:[1]

  • Ibdal disyaratkan oleh wakif.
  • Ibdal tidak disyaratkan oleh wakif, sedangkan kondisi mauquf tidak difungsikan dan dimanfaatkan lagi atau hasilnya tidak menutupi biaya.
  • Ibdal tidak disyaratkan oleh wakif, keadaan mauquf-pun masih terurus dan berfungsi, tetapi ada barang pengganti yang dalam kondisi menjanjikan atau menguntungkan.


1. Wakif mensyaratkan istibdal (penggantian) terhadap dirinya sendiri atau beserta orang lain.

Contoh, wakif berkata: “Tanahku ini aku wakafkan dengan syarat bahwa di kemudian hari aku bisa menggantinya dengan barang wakaf yang lain, atau aku berhak menjualnya dan membeli barang lain sebagai gantinya.” Pensyaratan tersebut dapat dibenarkan, dan berlaku khusus untuk dirinya sendiri, tidak untuk orang lain. Kecuali apabila ia memberlakukan syarat itu bagi orang lain tersebut.

Ada beberapa pendapat yang difatwakan para ulama mengenai sah tidaknya wakaf dan syaratnya:

  • Imam Abu Yusuf dan Hilal menyatakan bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama sah.[2]
  • Imam Muhammad bin Hasan menyatakan bahwa wakafnya sah, tetapi syaratnya batal.
  • Beberapa pengikut Hanafi menyatakan bahwa wakaf dan syaratnya sama-sama batal.

Syekh Kamal bin Hamman, dengan meminjam statemen Muhammad bin Hasan menyatakan: “Apabila seseorang dalam wakafnya mengemukakan sebuah syarat yang menyatakan bahwa ia diperbolehkan mengganti tanah wakafnya dengan tanah lain,atau berhak menjulnya dan menggantinya, maka syarat itu dapat diterima dalam pandangan Abu Yusuf, Hilal dan Al-Khashshaf dengan argumen istihsan.”

Oleh karena itu tidak seorang pun berhak mengganti barang tersebut tanpa izin si wakif.

Qadhikhan sependapat dengan Hilal dan Abu Yusuf, sebab syarat dari si wakif tidak sampai membatalkan wakaf. Jika tanah wakaf tidak dapat ditanami maka mencari penggantinya yang lebih baik adalah sah.

Imam Sarkhasi menjelaskan alasan pendapat Muhammad bin Hasan yaitu bahwa syarat istibdal (penggantian) tersebut sama sekali tidak berpengaruh terhadap keberadaan wakaf dalam koridor yang ditentukan karena eksistensi syarat tersebut tidak menghilangkan makna ‘untuk selamanya’ yang disrikan dari tujuan wakaf. Dan istibdal tetap dihukumi tidak sah.

Al-Anshari meyakini keabsahan syarat dalam wakaf. Tapi wakif tetap tidak berhak menjualnya tanpa izin hakim.

Kesimpulan:

Pendapat yang paling dapat dipertanggungjawabkan ialah pendapat Abu Yusuf , Hilal dan al-Khashshaf yang menyatakan bahwa baik wakaf maupun syaratnya sama-sama sah. Pendapat senada juga dikemukakan oleh Qadhihan, Ibn Abidin dan Ibn Najim. Sudut pandang ulama yang mendasari pendapat itu adalah berhubung syarat istibdal ini tidak meniadakan keabadian dan sifat kekekalan wakaf, maka syarat tersebut dianggap tidak pernah ada.

Selama manfaat barang wakaf masih bisa dipergunakan dan dibelanjakan sesuai tujuan, maka selama itu pula wakaf tetap berlaku dan memiliki sifat kekekalannya. Inti dari wakaf adalah manfaat yang terus-menerus.

Ada beberapa penjelasan para ulama Hanafiyah tentang beberapa perkara yang masih berkaitan dengan istibdal, antara lain:

  • Setelah penggantian yang pertama, wakif tidak diperbolehkan mengganti barang wakaf untuk yang kedua kalinya, karena masa berlaku syarat isdtibdal yang ditentukannya sudah habis. Kecuali jika ia menyatakan bahwa haknya melakukan istibdal bisa dilakukan berulang-ulang.
  • Jika wakif berkata: “Saya mewakafkan tanah ini dengan syarat di suatu hari saya berhak untuk menjual tanah ini guna membeli tanah yang baru lagi,” kemudian ia tidak berkata apa-apa lagi, maka menurut qiyas wakafnya dianggap batal. Hal ini disebabkan wakif tidak tidak menyatakan maksud hatinya untuk menjadikantanah kedua sebagai pengganti wakaf tanah yang pertama. Berbeda dengan konsep qiyas, istihsan menganggap praktik ini boleh dan sah dengan dasar bahwa selama tanah yang pertama dikhususkan untuk wakaf. Sehingga harga yang didapatkan dari penjualannya pun seolah-olah menggantikan kedudukannya sebagai wakaf. Jika uang tersebut dibelikan tanah lagi, maka otomatis menjadi tanah wakaf sesuai syarat-syarat pada wakaf tanah yang pertama.
  • Jika wakif mensyaratkan penggantian dengan tanah, maka ia tidak berhak menggantinya dengan rumah. Demikian juga sebaliknya, karena ia tidak memiliki hak penggantian syarat. Jika tidak menentukan dengan apa penggantinya, maka bebas dengan harta bergerak apapun. Jika ia membatasinya dengan suatu wilayah, maka tidak boleh keluar dari wilayah tersebut.
  • Jika wakif mensyaratkan penggantian untuk orang lain beserta dirinya, maka wakif berhak melakukan penggantian itu sendirian. Tetapi, tidak demikian bagi orang lain yang ditentukannya tersebut, karena wakiflah yang yang memasukannya dalam syarat itu.
  • Jika ia mensyaratkan penggantian dalam wakaf, lalu ia menjualnya dan menghibahkan harganya, maka hibah tersebut sah, tapi ia harus mengganti harganya. Ini menurut pendapat Abu Hanifah. Sedangkan Abu Yusuf menyatakan bahwa hibah tersebut tidak sah.
  • Jika wakif mensyaratkan hak istibdal bagi dirinya, lalu ia menjual tanah wakaf, namun tanah itu kembali kepadanya karena adanya faskh (pembatalan/penarikan kembali), maka ia boleh menjualnya lagi untuk kedua kalinya, karena penjualan pertama dianggap tidak pernah ada. Akan tetapi, apabila kembalinya tanah itu karena adanya akad baru, maka ia tidak boleh menjualnya. Sebab hal itu dianggap sebagai pembelian baru dan tanahnya kembali menjadi tanah wakaf.
  • Jika seseorang berwakaf dan mensyaratkan untuk istibdal kepada dirinya, maka hanya ia sendirilah yang berhak melakukan istibdal. Bila ia berwasiat kepada orang lain bahwa ia punya hak istibdal, maka orang tersebut tidak berhak melakukan istibdal, kecuali bila si wakif mensyaratkannya ketika masih hidup.
  • Jika dalam permulaan akadnya wakif berkata: “Si Fulan berhak menjual barang wakaf dan atau menggantinya,” namun di akhir akad ia berkata: “Si Fulan tidak berhak menjual barang wakaf,” maka Fulan tidak boleh menjualnya, sebab wakif telah menarik kembali perkataan pertama dan membatalkannya dengan perkataan yang kedua, yaitu bahwa Fulanb tidak berhak menjualnya.

2. Wakif diam dan tidak mensyaratkan istibdal, sedangkan barang wakaf itu lama-kelamaan menjadi kurang produktif, bahkan hasilnya tidak dapat menutup biaya pengelolaannya.

Mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan praktik istibdal (penggantian). Ibn Abidin mengatakan: “Menurut pendapat yang paling benar, istibdal seperti itu dapat disahkan atas kebijakan hakim dengan adanya maslahat yang terkandung di dalamnya.”

Qadhikhan mengatakan: “Apabila wakif tidak mensyaratkan istibdal kepada siapapun, maka yang berhak melakukan mengganti barang wakaf hanyalah hakim[3] dengan berpijak pada kemaslahatan bersama.”

Pengarang kitab Al-Dzakhirah menyatakan: “Diriwayatkan dari Ali bin Abi Thalib, beliau mewakafkan rumah untuk Hasan dan Husein. Lalu ketika berangkat menuju Shiffin beliau berkata: ‘Andai rumah mereka itu dijual dan hasilnya dibagikan, tentunya akan lebih bermanfaat.’”

Hadist (atsar) inilah yang menjadi sandaran hukum mayoritas fuqaha Hanafiyah. Meski begitu, masih ada sebagian ulama yang berpendapat lain dan melarang penggantian barang wakaf selama tidak disyaratkan oleh wakif dalam akadnya, seperti Hilal, Al-Nasafi dan Al-Sarkhasi. Syekh Imam Zahiruddin dan Qadhikhan pernah berfatwa memperbolehkannya, namun fatwa itu dicabut kembali.

3. Wakif tidak menyinggung syarat istibdal, sementara kondisi barang masih dapat dimanfaatkan, namun di sisi lain ada barang yang lebih baik dan menjanjikan.

Ibn Abidin mensinyalir adanya silang pendapat di kalangan Hanafiyah. Dalam hal ini –pendapat yang paling sahih- barang wakaf tidak boleh diganti. Ibn Najm menjelaskan, perbedaan pendapat dalam kategori ini hanya menyangkut barang wakaf yang berbentuk tanah, yaitu apabila tanah tersebut tidak dapat dimanfaatkan lagi. Hukum ini tidak berlaku pada barang wakaf berbrntuk rumah yang salah satu bagian sisinya telah rusak, sedangkan sisi lainnya masih dapat dimanfaatkan. Dalam kondisi ini, semua ulama menfatwakan pelarangan istibdal.

Wakif berhak mensyaratkan atau tidak mensyaratkan istibdal. Jika wakif mensyaratkan istibdal sebagai langkah antisipasi rusak atau menurunnya produktivitas barang wakaf, maka semua ulama menetapkan konsensus tentang sahnya istibdal.

Konsensus ini tidak berlaku apabila ternyata syarat istibdal yang diucapkan wakif berlaku jika seandainya barang yang diwakafkan masih dalam keadaan baik. Ini menyalahi aturan karena aturan asal yang wajib kita pegang adalah membiarkan barang wakaf –seperti adanya- tanpa boleh menggantinya, kecuali bila ada yang mengizinkan penggantiannya. Yaitu syarat dan dharurah, sementara dalam hal ini kita tidak menemukan adanya indikasi darurat.

Pendapat Lain

Abu Yusuf berpendapat lain. Beliau menyatakan keabsahan praktik istibdal . alasannya adalah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ali bin Abi Thalib. Padahal sebenarnya hadits ini menyatakan kebolehan menjual barang wakaf untuk dibagi-bagikan, bukan untuk dibelikan barang baru.

Meski begitu, mayoritas ulama Hanafiyah memperbolehkan istibdal dengan barang yang lebih menguntungkan dengan syarat-syarat keadaan sebagai berikut:

  • Jika wakif mensyaratkannya.
  • Jika orang yang merampas tanah itu ingin menggantinya dengan uang.
  • Jika orang yang merampasnya mengalirkan air ke area tersebut sehingga menjadi genangan seperti danau atau laut, lalu ia memberikan ganti rugiberupa uang.
  • Jika ada orang menghendaki tanah wakaf dan menawar dengan harga yang jauh lebih tinggi (menurut Abu Yusuf).

Hukum Melanggar Syarat Wakif yang Melarang Penggantian Barang Wakaf

Ada dua pendapat:

a. Tidak boleh dilanggar. Intinya, hakim dan orang lain tidak berhak mengganti barang wakaf.[4]

b. Boleh. Intinya hakim boleh menggantinya meskipun wakif melarangnya dengan pertimbangan maslahat dan darurat.[5]

Syarat Penggantian

a. Penjualan tidak mengandung unsur penipuan.

b. Tidak dijual kepada orang yang yang ditolak persaksiannya (fasik) dan atau orang yang memberinya (nazir) utang.

c. Barang pengganti harus berupa barang yang tidak bergerak (iqar).

d. Penggantian rumah wakaf dengan rumah lainnya hanya boleh dalam satu wilayah, dan kondisi rumah pengganti harus lebih baik.[6]


1 Bersambung.....

[1] Pendapat senada juga dikemukakan oleh Ibn Abidin.

[2] Alasannya adalah Istihsan

[3] Senada dengannya yaitu pendapat Hisyam dalam Al-Muntaqa

[4] Seperti pendapat Hilal.

[5] Seperti Abu Yusuf dan ulama Hanafiyah lain.

[6] Syarat ini dikemukakan oleh Ibn Najm.

Software lain Selain Microsoft Office

-detikinet- Tahukah Anda bahwa ternyata ada Software lain selain Microsoft Office?

Seperti halnya microsoft, software symphony ini juga memiliki program mirip:

Perusahaan ini mengklaim bahwa 88% penggunanya adalah pengguna Office.
Hebatnya lagi software ini dapat didownload gratis.
Tertarik???? Hayyo klik...... di sini.

Kamis, November 15, 2007

Biasakan Dari Yang Kecil


MARIO TEGUH SUPER CLUB:

Pada tulisan saya sebelumnya tentang Kepantasan Untuk Di Tiru dan Puncak Kehidupan Anda, maka kali ini saya ingin menulis tentang Biasakan Dari Yang Kecil, yang saya simpulkan dari kehadiran saya pada acara Mario Teguh Business Art yang disiarkan pada hari Kamis, 8 November yang lalu. Saya hadir sebagai audience bersama 9 orang Super Members lainnya.

Topik yang diangkat pada waktu itu adalah Copying To Greatness. Beberapa kutipan pointer sebagai berikut:

Satu hari bersama seorang guru yang anggun - lebih baik daripada seribu hari belajar sendiri.
Kelebihan orang lain adalah potensi kelebihan Anda, bila Anda tulus mempelajarinya.
Menirulah dengan tulus. Karena hanya dengan peniruan yang tak terhambat di hati - Anda akan lebih mudah mencapai kesetaraan dengan kualitas yang Anda harapkan itu.
Mario Teguh Super Talk, Copying To Greatness

Salah satu cara untuk berhasil adalah belajar dari kegagalan. Dengan kegagalan, kita tahu cara untuk bisa berhasil. Tidak ada orang yang berhasil kalau belum pernah gagal.

Persoalannya, kita tidak cukup waktu untuk belajar semua kegagalan. Maka cara yang terpendek untuk keberhasilan adalah belajar dari kegagalan orang lain.

Dalam meniru cara-cara yang terbukti telah berhasil, terkadang kita dihadapkan pada satu sisi, dimana kita merasa bukan diri kita, karena apa yang kita tiru tidak sesuai dengan kebiasaan kita sebelumnya. Ini menjadi pertanyaan saya pada sesi tanya jawab.

Untuk menjadikan kita bisa menerima yang bukan diri kita, adalah dengan membiasakan perilaku kita sesuai dengan yang kita tiru, dan itu bisa dilakukan kalau kita melakukan dari yang kecil dan sederhana. Kalau kita meniru yang kecil dan dilakukan se-sering mungkin, maka itu akan menjadi kebiasaan kita, dan kebiasaan yang dilakukan dengan konsisten akan menjadikannya sebagai pribadi kita.

Maka kalau kita ingin meniru satu pribadi yang terbukti baik dan berhasil, maka lakukanlah dari yang kecil dan sederhana dari yang Anda sukai dari pribadi tersebut.

Menirulah dengan tulus. Karena hanya dengan peniruan yang tak terhambat di hati - Anda akan lebih mudah mencapai kesetaraan dengan kualitas yang Anda harapkan itu.
Mario Teguh Super Talk, Copying To Greatness

Wassalam,

Kepantasan Untuk ditiru


MARIO TEGUH SUPER CLUB:

Semoga tuisan ini menjumpai Anda semua dalam kebersamaan yang sangat membahagiakan, dan menjadikan kita sebagai orang yang lebih baik dan berguna untuk orang lain.

Saya merasa sangat terhormat mendapat undangan untuk ikut sebagai peserta audience pada acara MTBA tadi malam di TV O-Channel. MTBA merupakan salah satu acara yang disiarkan setiap Kamis Malam jam 21:00 - 22:00, dan merupakan satu acara televisi yang sangat populer dan mendapatkan ranking terbaik saat ini. Satu pengalaman tersendiri buat saya untuk bisa di sorot oleh kamera televisi secara live. Walaupun pada awalnya saya ingin mendapatkan sorotan kamera yang lebih "dominan" dari Pak Mario, tapi itu terkalahkan oleh fokus saya pada apa yang dibicarakan Pak Mario selama acara berlangsung, sehingga saya tidak tahu lagi apakah saya sudah disorot oleh kamera dengan baik atau tidak.

Terima kasih saya kepada Pak Mario, Ibu Lina, Pak Tekad Sukatno dan team MTSC yang memberikan kepercayaan kepada saya untuk bisa hadir.

Banyak poin-poin yang bisa saya ambil dari acara MTBA kemarin yang mengambil topik Copying To Greatness. Salah satu poin yang saya dapatkan adalah "Apakah Kita Dipantaskan Untuk Mengcopy Pribadi Seorang Yang Kuat"

Banyak orang yang merasa kecil, lemah, tidak berguna, sehingga tidak bisa memantaskan dirinya untuk bisa lebih baik dari apa yang ada pada dirinya sekarang. Seberapa banyak orang yang merasa tidak pantas berhasil, karena merasa dirinya tidak pantas untuk meniru pribadi-pribadi yang kuat, padahal keberhasilan orang yang kita tiru adalah salah satu jalan pintas buat kita untuk mencapai keberhasilan yang lebih cepat. Kenapa kita harus menolak kepantasan itu?

Setiap orang pantas dan dipantaskan untuk mengcopy pribadi apapun yang dia inginkan, tapi yang menjadi pertanyaannya "Apakah Pribadi Yang Ingin Kita Copy Mempunyai Kepantasan Untuk Di Tiru?"

Dan karena ada hukum kepantasan bagi segala sesuatu, maka ia yang memperbaiki dan akan menjadi pantas bagi kehidupan yang terperbaiki.

Meniru-lah, karena meniru adalah jalan terpendek untuk menjadikan diri Anda sama degan pribadi yang Anda kagumi.

(Mario Teguh Super Talk, Copying To Greatness)

Salam Super,

Dorongan untuk Mengeluarakan Zakat


Allah SWT. Berfirman: “Ambillah zakat dari sebagian hartanya, yang dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (At-Taubah: 103)

Dengan kata lain: “Wahai Muhammad, ambillah zakat dari harta orang-orang mukmin yang telah ditentukan sebagai zakat wajib serta yang tidak ditentukan, sebagai sedekah sunnah. Yang dengan demikian itu agar engkau dapat membersihkan diri dan harta mereka dari kekejian, kebakhilan, keserakahan, kesewenangan, kekerasan terhadap fakir miskin dan orang yang tidak mampu serta dari segala sifat tercela lainnya. Atau dengan kata lain, engkau mengembangkan dan mengangkat mereka dengan berbagai kebaikan moral serta perbuatan. Sehingga jiwa mereka benar-benara merasakan kebahagiaan dunia dan akhirat.”

Allah SWT. berfirman:“Sesungguhnya orang-orang yang bertaqwa itu berada di dalam tama-taman (surga) yang disekelilingnya terdapat mata air, seraya mengambil apa yang diberikan Allah kepada mereka. Sebenarnya mereka sebelum itu, di dunia, adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur di waktu malam dan di akhir malam mereka meminta ampunan kepada Allah. Pada harta-harta mereka terdapat hak untuk orang-orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian[1].(Adz-Dzariyat: 15-19)

Alah SWT telah menjadikan Ihsan sebagai sifat yang khusus diantara sifat-sifat kebaikan dan ihsan mereka itu tampak pada bangunya di malam hari, lalu memohon ampunan pada akhir malam, sebagai ibadah sekaligus mendekatkan diri kepada Allah. Sebagaimana ihsan mereka itu juga tampak pada pemberian terhadap fakir miskin sebagai bentuk kasih sayang kepada mereka.

Allah SWT. juga erfirman: “Dan orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, sebagian mereka adalah penoong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh (mengerjakan ) yang ma’ruf, mencegah kemunkaran, mendirikan shalat, menunaikan zakat serta meraka taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Mereka itu akan diberi rahmat oleh Allah. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (at-Taubah: 71)

Dengan kata lain, kelompok yang akan diberkahi oleh Allah dan yang akan diberikan rahmat oleh-Nya adalah kelompok beriman dan yang saling menolong terhadap sesamanya. Menyuruh untuk berbuat baik dan mencegah kemunkaran, menjalin hubungan dengan-Nya melalui shalat serta memperkuat hubungan dengan sesamanya melalui pemberian zakat.

Juga firman-Nya: “Yaitu orang-orang yang jika Kami teguhkan kedudukan mereka di muka bumi, niscaya mereka mendirikan shalat, menunaikan zakat, menyuruh berbuat baik, serta mencegah perbuaan munkar dan kepada Allah segala urusan dikembalikan.” (Al-Hajj: 41)

Allah SWT. menjadikan penunaian zakat sebagai salah satu tujuan dari penempatan manusia di muka bumi.

Dari Abu Kabsyah Al-Anmari, ia berkata bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Ada tiga hal yang aku bersumpah atasnya dan aku akan memberitahukan kepada kalian, karenanya peliharalah. Yitu, bahwa harta tidak akan berkurang karena dikeluarkan zakatnya, tidak juga seseorang yang dizholimi apabila bersabar atasnya melainkan Allah akan menambah kemuliaan karenanya dan tidaklah seorang hamba membuka pintu untuk memintya-minta melainkan Allah akan membukakan baginya pintu kemiskian.” (HR. Tirmidzi)

Dari Abu Hurairah r.a, ia berkata bahwa Rasulullah SAW. Bersabda: “Sesungguhnya Allah Azza wa Jalla menerima sedekah dan mengambilnya dengan tangan kanan-Nya, lalu memeliharanya untuk seseorang dari kalian, seperti halnya sesorang diantara kalian memelihara anak kuda atau anak untanya. Sehingga yang sesuap pun akan menjadi sebesar gunung Uhud.” (HR. Bukhari)

Imam Al-Waki’ mengatakan, bahwa hal itu dibenarkan oleh Allah SWT. Melaui firman-Nya: “Tidakkah mereka mengetahui, bahwa Allah menerima taubat dari para hamb-Nya dan menerima zakat mereka.” (At-Taubah: 104)

Dari Anas r.a. ia menceritakan: “Ada sesorang dari Bani Tamim datang kepada Rasulullah seraya bertanya: “Wahai Rasulullah sesungguhnya kau memiliki harta yang banyak, juga memiliki keluarga dan tamu yang selalu berdatangan. Untuk itu beritahukan kepadaku bagaiman aku harus berbuatdan bagaiman caranya ak berinfak?” Rasulullah SAW. menjawab: “Engkau keluarkan zaskat dari hartamu itu. Karena sesungguhnya zakat itu merupakan amalan yang dapat membersihkan harta dan dirimu. Lalu menyambung hubungan dengan dengan kaum kerabat, dan mengetahui hak orang-orang miskin, tetangga serta orang yang meminta-minta.” (HR. Ahmad dengan sanad shahih)

Da ri Aisyah r.a. ia berkat abahwa Rasululah SAW. pernah bersabda: “Ada tiga hal yang aku beersumpah atasnya, diman Allah tidak menjadikan orang yang mempunyai andil dalam Islam sama dengan orang yang tidak mempunyai andil dalam Islam. Dan Islam telah memberi tiga andil, yaitu shalat, puasa dan zakat. Allah juga tidak mengangakat seorang hamba sebagai pemimpin suatu rumah, s ehingaa ia kan dipimpin orang lainnya pada hari kiamat kelak. Tidaklah sesorang mencintai suatu kaum melainkan Allah menjadikannya termasuk golongan mereka. Sedangkan apabila aku bersumpah atasnya, maka aku berharap tidak berbuat dosa. Allah tidak menutupi kesalahan seorang hamba di dunia ini melainkan Dia akan menutupinya pada hari kiamat kelak.” (HR. Ahmad)

Hikmah Zakat

  • Sebagai sarana pensucian jiwa dari sifat-sifata tidak terpuji, yakni dari sifat kikir, rakus dan loba.
  • Sebagai saran untuk berbagi nikmat dari orang-orang kaya bersama orang-orang miskin dan sebagai sarana pemenuhan hajat orang-orang yang memerlukan pertolongan.
  • Sebagai sarana untuk membiayai kepentingan umum sehingga kehidupah yang bahagia dan sejahtera dapat diwujudkan.
  • Sebagai sarana untuk menekan agar kekayaan tidak menumpuk hanya pada tangan orang-orang kaya,para saudagar, dan para industriawan saja.

Daftar Pustaka:

Al-Jaza’iri, Abu Bakar Jabir Minhajul Muslim: Pedoman Hidup Muslim. Litera Antar Nusa.Jakarta: 2003

Muhammd ‘Uwaidah, Syaikh Kamil Muhammad. Al-Jami fi Fiqh An-Nisa: Fiqih Wanita. Pustaka Al-Kautsar. Jakarta: 1996

4 Tamat

[1] Orang miskin yang tidak mendapat bagian ialah orang miskin yang tidak meminta-minta.

Rabu, November 14, 2007

Kewajiban Membayar Zakat


Allah SWT. berfirman: ‘’Dirikanlah shalat dan tunaikanlah zakat.’’ (Al-Baqarah: 110)

Ibnu Abbas r.a. berkata: “Abu Sufyan pernah memberitahukan sesuatu kepadaku dengan menyebutkan hadits Nabi SAW, yang artinya: ‘’Beliau memerintahkan kami mengerjakan shalat, membayar zakat, bersilaturrahmi, dan menjaga kesucian diri.’’(HR. Bukhari)

Dari Ibnu Abbas ia berkata bahwa Nabi pernah mengirim Mu’adz ke Yaman seraya berpesan: ‘’Ajaklah mereka bersaksi, bahwa tidak ada Ilah selain Allah dan sesungguhnya aku (Muhammad) adalah Rasul-Nya. Jika mereka mentaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah telah mewajibkan kepada mereka lima perintah shalat pada setiap harinya. Jika mereka mentaati hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan mereka untuk membayar zakat pada harta mereka yang diambil dari harta orang-orang kaya diantara mereka dan diserahkan kepada orang-orang miskin diantara mereka.’’ (HR. Bukhari dan An-Nasa’i)

Imam An-Nawawi mengatakan: ‘’Mengenai sabda Rasulullah: ‘’Zakat adalah bukti’’, artinya bahwa seseorang akan berlindung pada zakat, sebagaimana berlindung pada dalil-dalil yang memperkuatnya, apabila ditanya pada hari kiamat kelak mengenai pembelanjaan hartanya. Demikian menurut Mushannif dari kitab At-Tahrir. Sedangkan yang lainnya berkata: ‘’Artinya, bahwa zakat merupakan hujjah bagi keimanan pelakunya. Karena sesungguhnya orang munafiq itu menolak untuk menunaikan zakat dengan alasan tidak meyakininya. Barang siapa bersedekah (mengeluarkan zakat) maka ia akan menjadi bukti kebenaran imannya.’’

Di dalam kitab An-Nihayah, Imam Nawawi mengatakan: ‘’Burhan itu berarti hujjah dan dalil. Dengan kata lain, bahwa zakat merupakan hujjah bagi pengharap pahala dan bahwa zakat adalah kewajiban yang akan diberikan pahala atasnya. ’’Ada pendapat yang mengatakan: ‘’Zakat merupakan bukti kebenaran iman pelakunya, karena ketulusan hati untuk mengeluarkannya. Yang demikian itu disebabkan karena adanya hubungan antara jiwa dengan harta.’’

Sedangkan Al-Qurthubi mengatakan: ‘’Zakat merupakan bukti kebenaran iman orang yang mengeluarkannya atau dengan kata lain; ia bukan termasuk golongan orang-orang munafiq, sekaligus sebagai bukti kebenaran cintanya kepada Allah SWT, atau kesungguhan harapan mendapatkan pahala atas apa yang telah diberikan Allah kepadanya.’’

Zakat merupakan bukti kebenaran iman yang diakui pelakunya. Sebab tindakan mengeluarkan harta secara tulus karena Allah SWT, tidak mungkin terjadi, kecuali jika ada kesungguhan imannya, demikian menurut Al-Sindi.

Dari Abu Ayyub, ia berkata bahwasanya ada seseorang yang bertanya kepada Nabi: ‘’Beritahukan kepadaku amal yang dapat memasukkan aku ke dalam surga! Nabi menjawab: ‘’Harta. Harta.’’ Selanjutnya beliau bersabda: ‘’Yang terpenting darimu adalah menyembah Allah, tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun, mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan menyambung tali silaturrahmi.’’ (HR> Bukhari)

Dari Abu Hurairah r.a, ia menceritakan: ‘’Ketika Rasulullah SAW wafat dan yang menjadi khalifah pengganti adalah Abu Bakar Shiddiq, maka orang-orang dari kalangan bangsa arab banyak yang menjadi kafir. Lalu Umar bertanya kepada Abu Bakar: ‘’Bagaimana engkau memerangi orang-rang kafir tersebut, sedangkan Rasulullah SAW telah bersabda: ‘’Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sehingga mereka mengucapkan syahadat. Barang siapa telah mengucapkannya maka harta dan jiwanya akan terpelihara dari beliau (Rasulullah), kecuali haknya dan hisab atas mereka berada di tangan Allah. Abu Bakar pun berkata: ‘’Demi Allah aku akan memerangi orang yang memisahkan antara shalat dan zakat, karena zakat merupakan hak dari harta. Demi Allah seandainya mereka menghalangiku dari anak kambing yang dulu mereka tunaikan zakatnya kepada Rasulullah, niscaya akan aku perangi mereka karena penolakan itu. Umar pun berkata: ‘’Demi Allah, hal itu tidak lain karena Allah telah membuka dada Abu Bakar untuk memeranginya dan aku tahu bahwa hal itu benar.’’ (HR. Bukhari)

3 Bersambung ....


Selasa, November 13, 2007

Ancaman & Hukum Orang yang Enggan Berzakat

  • Ancaman Bagi Orang yang Enggan Membayar Zakat

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Aku pernah mendatangi Rasulullah SAW. ketika beliau sedang duduk di serambi Ka’bah. Pada saat melihatku beliau bersabda: ”Demi Allah, Pemelihara Ka’bah, mereka adalah orang-orang yang merugi pada hari kiamat. Akupun berkata kepada diriku sendiri: ‘’Apa gerangan yang terjadi dengan diriku. Mungkin telah diturunkan sesuatu karenaku.’’ Selanjutnya aku bertanya: ‘’Siapakah yang engkau maksudkan wahai Rasulullah?’’ Beliau menjawab: ‘’Yaitu orang yang banyak memiliki harta akan tetapi masih mengatakan begini, begini dan begini.’’ Beliau mengisyaratkan ke depan, ke sebelah kanan dan sebelah kirinya. Kemudian beliau bersabda: ‘’Demi Dzat yang diriku berada di genggaman tangan-Nya, tidaklah seseorang mati meninggalkan unta dan sapi sedang ia tidak mengeluarkan zakatnya, melainkan pada hari kiamat ia akan didatangi oleh apa yang lebih besar dan gemuk dari apa yang dimilki sewaktu di dunia. Lalu binatang yang tidak dikeluarkan zakatnya itu menginjak-injak orang tersebut dengan kuku-kuku kakinya, dan menanduk dengan tanduknya. Setiap kali yang terakhir selesai menginjak-injak dan menanduk, maka yang pertama kembali seperti semula. Sehingga ia diberi putusan pengadilan di antara ummat manusia.’’ (HR. Bukhari, Muslim dan Tirmidzi)

Imam Tirmidzi mengatakan bahwa hadits ini berstatus hasan shahih. Imam An-Nawawi mengatakan bahwa didalam hadits diatas terdapat makna yang memerintahkan untuk bersedekah di jalan kebaikan. Tidak hanya pada salah satu bentuk kebaikan, tetapi pada setiap bentuk kebaikan.

  • Hukum Orang yang Enggan Mengeluarkan Zakat

Orang muslim yang enggan mengeluarkan zakat karena tidak mengakui kewajiban tersebut, maka ia telah berlaku kafir. Sedangkan orang muslim yang enggan mengeluarkan zakatnya karena bakhil, dengan tetap mengakui hukum kewajibannya maka ia berdosa. Dalam hal ini boleh dilakukan pemaksaan terhadapnya dengan memberikan hukuman ta’zir.

Imam Malik mengatakan: ‘’Menurut kami, setiap orang yang menentang salah satu dari kewajiban yang telah ditentukan Allah, kemudian ia tidak mampu menghadapinya, maka ia harus berusaha keras untuk melawannya, sehingga ia dapat melawannya.’’

Diriwayatkan, bahwa Abu Bakar r.a. berkata: ‘’Seandainya mereka menghalangiku dari anak kambing, niscaya aku akan memerangi mereka karena hal itu.’’ (HR. Bukhari, Muslim, Abu Dawud, Tirmidzi dan An-Nasa’i)

Para sahabat juga sepakat untuk membunuh orang yang tidak mau mengeluarkan zakat, yang merupakan salah satu hal terpenting dalam agama. Apabila ada orang yang mengingkari hukum wajib zakat, berarti ia telah keluar dari Islam. Dan jika dibunuh, ia mati dalam keadaan kafir, kecuali jika ia baru masuk Islam, karena mungkin ia masih belum banyak mengenal hukum-hukumnya. Sedangkan hal itu tidak menyebabkan ia keluar dari Islam (kafir).

Penguasa, dalam hal ini boleh mengambil bagian zakat dari hartanya secara paksa dan memberi hukuman atasnya, dengan tidak melebihi jumlah yang seharusnya dibayarkan sebagai zakat.

Adapun menurut Imam Syafi’i dan Imam Ahmad, bahwa penguasa diperbolehkan untuk mengambil bagian zakat itu dan mengambil setengah dari harta yang dimiliki sebagai hukuman atasnya. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan dari Bahz bin Hakim, dari ayahnya, dari kakeknya, dimana ia berkata: ‘’aku pernah mendengar Rasulullah SAW. Bersabda: ‘’Pada unta yang mencari makan sendiri, yaitu pada empat puluh ekor, maka zakatnya ialah bintu labun, dimana unta tersebut tidak boleh dipisahkan dari perhitungannya. Barang siapa memberikan zakat karena mengharapkan ganjaran, maka ia akan mendapatkannya. Sedangkan bagi siapa yang enggan mengeluarkannya, maka sesungguhnya kami akan mengambilnya (bagian zakat itu) dan setengah dari hartanya sebagai salah satu perintah keras dari Allah, yang tidak halal sedikit pun darinya (zakat tersebut) bagi keluarga Muhammad.’’ (HR. Ahmad, Abu Dawud, An-Nasa’i, Al-Hakim dan Baihaqi)

Imam Ahmad pernah ditanya tentang hadits ini dan beliau menjawab, bahwa hadits ini memiliki isnad shahih.

2 Bersambung ....

Definisi dan Hukum Zakat

  • Definisi Zakat
Menurut bahasa, zakat berarti pengembangan dan kesucian. Tanpa disadari, harta akan berkembang melalui zakat. Disisi lain, mensucikan pelakunya dari dosa. Disebut zakat dalam syari’at karena adanya pengertian etimologis, yaitu karena zakat dapat membersihkan pelakunya dari dosa dan menunjukkan kebenaran imannya. Adapun caranya ialah dengan memberikan bagian harta yang telah mencapai nishab tahunan kepada fakir miskin dan lainnya yang berhak untuk menerimanya. Zakat ini merupakan pelaksanaan rukun Islam yang ketiga.

Ibnu ‘Arabi mengatakan: “Zakat diartikan sebagai sedekah wajib dan sedekah sunnah atau nafkah, hak dan maaf.”

Syarat orang yang mengeluarkan zakat ialah berakal, baligh dan merdeka. Didalam ketentuan syari’at, zakat merupakan amalan yang pasti, dimana tidak membutuhkan adu argumentasi lagi. Perbedaan pendapat hanya terjadi pada beberapa dari furu’nya saja. Sedangkan hukum pokok wajibya sudah jelas dan orang yang mengingkarinya adalah kafir.

  • Hukum Zakat

Zakat merupakan salah satu kewajiban dan rukun Islam. Syari’at hanya mewajibkan zakat pada harta-harta tertentu saja dan telah menerangkannya secara rinci kepada ummat manusia. Misalnya firman Allah SWT.

“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka.” (At-Taubah: 103)

Juga firman-Nya: “Tunaikanlah zakat.” (Al-Baqarah: 43)

“Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang Kami keluarkan dari bumi untukmu…” (Al-Baqarah: 267)

Nabi SAW. bersabda: “Islam itu didirikan atas lima (asas): Bersaksi, sesungguhnya tiada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya Muhammad adalah utusan Allah, mebdirikan shalat, membayar zakat,berhaji ke Baitaullah, dan puasa di bulan Ramadhan.” (Muttafaq ‘Alaih)

1 Bersambung .....


Senin, November 12, 2007

Sejarah Perkembangan Wakaf di Dunia Islam

  1. Pendahuluan

Wakaf, sebagaimana halnya zakat, adalah termasuk harta/asset ummat muslim yang harus dijaga dan dikembangkan demi kepentingan ummat muslim itu sendiri. Dalam perjalanannya, wakaf pada dunia Islam mengalami berbagai macam kondisi -pasang dan surut- terus mewarnai perkembangannya dan tampaknya hal seperti itu akan terus terjadi sepanjang masa.

  1. Perkembangan Wakaf pada Masa Generasi Sahabat

Wakaf adalah sedekah yang sebenarnya lebih dikenal di masyarakat sebagai sedekah jariyah. Spesifikasi menahan pokoknya dan memberikan manfaatnya bermakna agar pahala itu mengalir terus-menerus.

Adapun kapan awal diberlakukannya wakaf, generasi sahabat sendiri berbeda pendapat. Kaum Muhajirin berpendapat, wakaf dimulai zaman Umar bin Khathab dan dimulai oleh beliau sendiri. Sementara Kaum Anshar menganggap bahwa wakaf dimulai oleh Rasulullah Saw.

Terlepas dari perbedaan pendapat tersebut, para ulama sependapat bahwa wakaf adalah salah satu bentuk sedekah dalam Islam.

Wakaf mempunyai tujuan mulia yaitu dengan menyisihkan sebagian harta untuk taqarub ilallah (mendekatkan diri kepada Allah).

Contoh terkenal berkenaan hal ini:

a. Ketika Rasulullah Saw. Bersabda, “Salurkan wakafmu itu kepada keluargamu, yaitu Hasan bin Tsabit dan Ubay bin Ka’ab.” Maka Abu Thalhah langsung melakukannya.

b. Umar bin Khatab ketika berwakaf, dia mengatakan bahwa apa yang diwakafkan untuk orang-orang fakir, para karib kerabat, para budak, untuk kebaikan di jalan Allah, serta untuk para tamu dan orang-orang yang tengah melakukan perjalanan. Tidak ada salahnya bagi yang mengelola/nazhir mengambil sebagian dari keuntungan asal masih dalam batas kewajaran (ma’ruf) atau memberi makan kepada yang lain yang tidak mampu. Hal ini Ali r.a. juga melakukan sebagaimana kebijakan Umar bin Khathab.

c. Zubair ketika mewakafkan rumahnya, dia mengatakan bahwa bukan suatu kerugian memberikan kepada pelayan anak perempuannya, dan tidak ada yang merugikan darinya.

Dari contoh-contoh tersebut dapat disimpulkan:

a. Wakaf sudah ada sejak zaman Rasulullah Saw. dan para sahabat,

b. Wakaf boleh diberikan kepada kaum kerabat ataupun orang lain untuk tujuan mulia/kebaikan,

c. Wakaf ada yang mengelola dan boleh mengambil sebagaian keuntungan secara ma’ruf (batas kewajaran).

  1. Perkembangan Wakaf pada Masa Generesi Sesudah Sahabat

Dalam buku Hukum Wakaf karya Dr. Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi tidak menjelaskan yang dimaksud generasi sesudahnya itu apakah tabi’in, tabi’it tabi’in, atau sesudahnya lagi.

Permasalahan yang muncul dalam era ini adalah tujuan mulia wakaf generasi sahabat dibelokkan menjadi tujuan-tujuan tertentu yang tidak baik walaupun secara hukum wakaf sendiri tidak menyalahi.

Sebagai contoh, orang-orang pada masa itu berwakaf dengan tujuan untuk menghalang-halangi sebagian ahli waris mendapatkan haknya. Diperparah lagi adanya diskriminasi terhadap anak-anak perempuan, karena ada sebagian orang yang berwakaf hanya untuk anak laki-lakinya, atau mewakafkan sebagian besar hartanya agar harta waris tidak jatuh ke anak-anak perempuannya, minimal jatahnya berkurang.

Dalam kitab Al-Mudawwanah dikatakan bahwa Khalifah Umar bin Abdul Aziz sebelum meninggal dunia pernah berkeinginan untuk mengembalikan sedekah/wakaf orang-orang yang mengabaikan anak perempuan mereka.

Imam Syaukani berkata, “Barang siapa yang mewakafkan barang yang dapat membahayakan ahli waris, maka wakafnya batal.” Shadiq Hasan Khan berkomentar tentang hal ini, “Kesimpulannya, bahwa wakaf yang bertujuan memutuskan apa yang Allah perintahkan untuk menyambungnya serta bertentangan dengan ajaran-ajaran Allah SWT., maka wakafnya batal. Sama seperti orang yang mewakafkan sesuatu kepada anak laki-lakinya, tanpa menyertakan anak perempuannya, dan lain sebagainya. Sebab, wakaf seperti ini tidak merealisasikan takarub kepada Allah, akan tetapi bertujuan menentang hukum-hukum Allah yang disyariatkan kepada hamba-hamba-Nya. Wakaf seperti ini menjadi wasilah (sarana) perwujudan tujuan setan.”

Kesimpulan dari masa ini:

a. Ada penyimpangan tujuan wakaf dari menyisihkan sebagian harta untuk mendekatkan diri kepada Allah menjadi tujuan-tujuan lain yang tidak sesuai syariat, seperti menghalang-halangi seseorang untuk mendapatkan hak waris.

b. Ada usaha baik dari penguasa/khalifah maupun ulama untuk meluruskan kembali kepada tujuan wakaf sebagimana generasi sahabat yang mulia.

  1. Zaman Bani Umayah dan Abbasiyah

Wakaf pada zaman ini mengalami masa perkembangan yang luar biasa. Penyalurannya tidak hanya terbatas kepada kalangan fakir miskin, akan tetapi telah merambah berbagai hal, seperti pendirian srana ibadah, tempat-tempat pengungsian, perpustakaan dan sarana pendidikan, pemberian beasiswa untuk para pelajar, tenaga pengajar, dan orang-orang yang terlibat di dalamnya.

Dampak dari makin meluasnya peranan wakaf dan antusiasme masyarakat kala itu muncullah beberapa organ pendukung:

a. Didirikannya lembaga khusus bidang wakaf,

b. Intervensi pemerintah dalam pengembangan,

c. Pengawasan oleh para hakim.

  1. Zaman Dinasti Usmaniyah

Pada zaman ini yang menonjol adalah pengawas pengelolaan wakaf. Beberapa yang dapat dicatat:

a. Pengawasan wakaf dilaksanakan oleh qadhi (hakim),

b. Jika wakif telah menunjuk nazhir/pengelola, hakim cukup mengawasi pihak yang ditunjuk,

c. Pertama kali dilakukan pencatatan dan pembukuan wakaf.

Qadhi yang terkenal pada masa ini adalah Taubah bin Namr bin Haumal al-Hadrami. Beliaulah orang pertama yang melakukan pencatatan dan pembukuan wakaf secara rinci. Perkataan beliau yang terkenal, “Saya tidak mempunyai pandangan tentang sedekah (wakaf) ini, melainkan untuk diserahkan kepada golongan fakir miskin, dan seyogyanya tetap difokuskan kepada mereka, demi menjaganya dari kehancuran atau diwariskan secara turun-temurun.”

  1. Negara Irak

Praktik wakaf di Irak lebih banyak mengadopsi apa yang telah dilakukan pada masa Dinasti Usmaniyah. Kemajuan dalam bidang wakaf di Irak:

a. Dibuatnya Undang-Undang Wakaf.

Yang terkenal adalah UU No.64 tahun 1966, yang isinya:

Pertama, wakaf yang baik (al-waqfu al-shalih), yaitu mewakafkan barang yang dimilikinya kepada pihak yang menerima (maukuf) tanpa dipersyaratkan apa pun.

Kedua, wakaf yang tidak baik (al-waqfu ghairu al-shalih), yaitu wakaf yang hak pendistribusian dan penggarapan tanahnya dikhususkan kepada pihak tertentu saja.

Ketiga, wakaf yang dibatasi (al-waqfu al-mdhbuth), yang terdiri dari:

- Wakaf shalih yang tidak disyaratkan adanya tauliyah (hak penguasaan) kepada orang tertentu, atau yang terputus atau habis hak penguasaannya.

- Wakaf ghairu shalih.

- Wakaf yang pengelolaannya berakhir dalam 15 tahun, baik ditentukan oleh pihak kementrian wakaf, lembaga-lembaga wakaf, atau berdasarkan catatan wakaf.

- Wakaf haramain, yaitu wakaf yang ditentukan adanya syarat-syarat tertentu.

- Pihak atau lembaga sosial menerima wakaf sesuai perundang-undangan yang berlaku.

Ada lagi yang disebut wakaf mulhaq, yaitu wakaf yang dikelola oleh seseorang dan disyaratkan agar keuntungan (hasil) wakaf atau sebagiannya diserahkan kepada lembaga-lembaga agama dan sosial.

Perdebatan para ulama terjadi pada jenis wakaf dzurri (keluarga), yaitu wakaf yang dikelola oleh seseorang dan disyaratkan agar keuntungannya diserahkan kepada anak cucu wakif/keluarganya.

b. Dibentuknya kementrian wakaf yang bertugas mengembangkan wakaf agar memiliki manfaat yang maksimal bagi kemaslahatan umat, juga berfungsi pengawasan dalam hal-hal tertentu.

  1. Negara Mesir dan Negara-Negara Timur Tengah lainnya

Pada umumnya negara-negara Timur Tengah dalam bidang wakaf merupakan yang terdepan di dunia Islam. Terutama Mesir, Universitas Al-Azhar sebagai contoh konkrit kemajuan bidang wakaf dari masa lampau hingga saat ini.

Kemajuan yang dialami negara-negara Timur Tengah khususnya Mesir sebenarnya berawal dari perdebatan di kalangan ulama mengenai wakah dzurri/keluarga.

Di Syiria pada tahun 1939 merevisi peraturan-peraturan mengenai wakaf keluarga, antara lain. Pertama, tidak dibolehkan melanggengkan wakaf keluarga tanpa batas waktu dan tidak boleh pula diberikan kepada kelompok yang lebih dari dua tingkat keturunan (cucu). Kedua, dalam wakaf keluarga, wakif dibolehkan menarik kembali wakafnya, sebagaimana ia dibolehkan mengikat wakaf dengan syarat-syarat tertentu. Ketiga, untuk keabsahan wakaf ini, disyaratkan untuk tertulis dalam catatan pertanahan, yang dikeluarkan oleh hakim agama. Keempat, jika terjadi kerusakan atau tidak memungkinkan lagi untuk dibangun, atau hak mustahik tidak dapat terpenuhi, maka wajib wakaf itu. Kelima, mauquf ‘alaih (penerima wakaf) berhak menolak syarat waqif yang semena-mena dengan mebatalkan syarat tersebut.

Peraturan-peraturan yang menjadi landasan perkembangan wakaf di Mesir:

a. Tahun 1925 saat Revolusi Mesir meletus ditemukan bukti dokumen bahwa wakaf keluarga masih menjadi perdebatan, maka pemerintah Mesir mengeluarkan Peraturan No.180 tahun 1952 yang menghapuskan legalitas wakaf kwluarga dan berstatus bebas dan tidak terikat. Pemerintah juga melarang wakaf keluarga jenis baru, sehingga wakaf hanya terbatas pada wakaf umum saja.

b. Peraturan No.547 tahun 1953, yang mengatur mengenai wakaf umum. Pihak yang berwenang mengurusi wakaf ini adalah kementrian wakaf. Selama wakif tidak menyaratkan untuk dirinya, kementrian wakaf berhak menyalurkan wakaf umum kepada pihak mana pun yang tidak ditentukan wakif.

c. Peraturan No.525 tahun 1954, yang mengatur pembagian hasil wakaf. Dalam peraturan ini juga mengatur pengambilalihan wakaf dari tangan individu kepada yang lebih berhak.

d. Ada yang dirasa memberatkan karena jika ada pihak yang tidak mau menyerahkan, maka kementrian wakaf berpedoman pada Peraturan No.18 tahun 1957, yang menetapkan pembagian harta wakaf kepada mustahik, dengan menyerahkan bagian-bagian wakaf tersebut kepada kementrian.

Itulah sekilas sejarah wakaf di kalangan umat Islam sejak zaman Rasullah Saw. sampai saat ini, khususnya di negara-negara Islam Timur Tengah. Untuk di Indonesia dengan diberlakukannya Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf, menjadi titik awal kebangkitan wakaf di Indonesia. Akan tetapi yang lebih mendasar adalah pemahaman terutama fikih wakaf itu sendiri harus segera di sosialisasikan, mengingat hambatan perkembangan terkadang berakar pada pemahaman fikih itu sendiri. Pendek kata senergi antara pemahaman masyarakat dan lahirnya nazhir-nazhir profesional harus berjalan seiring, sehingga wakaf bisa menjadi salah satu alternatif baru pendorong kemajuan bangsa.

  1. Kesimpulan dan Saran

Perkembangan wakaf sebenarnya sangat tergantung kepada ummat muslim itu sendiri. Kita sebagai genaerasi muda muslim berkewajiban untuk mengembangkan wakaf di masa yang akan datang.

Yuyun Wahyu

Daftar Pustaka:

Al-Kabisi, Muhammad Abid Abdullah. 2004. Hukum Wakaf. Bogor: Dompet Dhuafa Republika dan IIMaN.