Minggu, Januari 20, 2008

Senjakala Kekuasaan: Antara Soeharto dan Soekarno (bag.1)

Jakarta, Selasa, 16 Juni 1970. Ruangan intensive care RSPAD Gatot Subroto dipenuhi tentara sejak pagi. Serdadu berseragam dan bersenjata lengkap bersiaga penuh di beberapa titik strategis rumah sakit tersebut. Tak kalah banyaknya, petugas keamanan berpakaian preman juga hilir mudik di koridor rumah sakit hingga pelataran parkir.

Sedari pagi, suasana mencekam sudah terasa. Kabar yang berhembus mengatakan, mantan Presiden Soekarno akan dibawa ke rumah sakit ini dari rumah tahanannya di Wisma Yaso yang hanya berjarak lima kilometer.

Malam ini desas-desus itu terbukti. Di dalam ruang perawatan yang sangat sederhana untuk ukuran seorang mantan presiden, Soekarno tergolek lemah di pembaringan. Sudah beberapa hari ini kesehatannya sangat mundur. Sepanjang hari, orang yang dulu pernah sangat berkuasa ini terus memejamkan mata. Suhu tubuhnya sangat tinggi. Penyakit ginjal yang tidak dirawat secara semestinya kian menggerogoti kekuatan tubuhnya.

Lelaki yang pernah amat jantan dan berwibawa—dan sebab itu banyak digila-gilai perempuan seantero jagad, sekarang tak ubahnya bagai sesosok mayat hidup. Tiada lagi wajah gantengnya. Kini wajah yang dihiasi gigi gingsulnya telah membengkak, tanda bahwa racun telah menyebar ke mana-mana. Bukan hanya bengkak, tapi bolong-bolong bagaikan permukaan bulan. Mulutnya yang dahulu mampu menyihir jutaan massa dengan pidato-pidatonya yang sangat memukau, kini hanya terkatup rapat dan kering. Sebentar-sebentar bibirnya gemetar. Menahan sakit. Kedua tangannya yang dahulu sanggup meninju langit dan mencakar udara, kini tergolek lemas di sisi tubuhnya yang kian kurus.

Sang Putera Fajar tinggal menunggu waktu.

Dua hari kemudian, Megawati, anak sulungnya dari Fatmawati diizinkan tentara untuk mengunjungi ayahnya. Menyaksikan ayahnya yang tergolek lemah dan tidak mampu membuka matanya, kedua mata Mega menitikkan airmata. Bibirnya secara perlahan didekatkan ke telinga manusia yang paling dicintainya ini.

“Pak, Pak, ini Ega…”

Senyap.

Ayahnya tak bergerak. Kedua matanya juga tidak membuka. Namun kedua bibir Soekarno yang telah pecah-pecah bergerak-gerak kecil, gemetar, seolah ingin mengatakan sesuatu pada puteri sulungnya itu. Soekarno tampak mengetahui kehadiran Megawati. Tapi dia tidak mampu membuka matanya. Tangan kanannya bergetar seolah ingin menuliskan sesuatu untuk puteri sulungnya, tapi tubuhnya terlampau lemah untuk sekadar menulis. Tangannya kembali terkulai. Soekarno terdiam lagi.

Melihat kenyataan itu, perasaan Megawati amat terpukul. Air matanya yang sedari tadi ditahan kini menitik jatuh. Kian deras. Perempuan muda itu menutupi hidungnya dengan sapu tangan. Tak kuat menerima kenyataan, Megawati menjauh dan limbung. Mega segera dipapah keluar.

Jarum jam terus bergerak. Di luar kamar, sepasukan tentara terus berjaga lengkap dengan senjata.

Malam harinya ketahanan tubuh seorang Soekarno ambrol. Dia coma. Antara hidup dan mati. Tim dokter segera memberikan bantuan seperlunya.

Keesokan hari, mantan wakil presiden Muhammad Hatta diizinkan mengunjungi kolega lamanya ini. Hatta yang ditemani sekretarisnya menghampiri pembaringan Soekarno dengan sangat hati-hati. Dengan segenap kekuatan yang berhasil dihimpunnya, Soekarno berhasil membuka matanya. Menahan rasa sakit yang tak terperi, Soekarno berkata lemah.

“Hatta.., kau di sini..?”

Yang disapa tidak bisa menyembunyikan kesedihannya. Namun Hatta tidak mau kawannya ini mengetahui jika dirinya bersedih. Dengan sekuat tenaga memendam kepedihan yang mencabik hati, Hatta berusaha menjawab Soekarno dengan wajar. Sedikit tersenyum menghibur.

“Ya, bagaimana keadaanmu, No?”

Hatta menyapanya dengan sebutan yang digunakannya di masa lalu. Tangannya memegang lembut tangan Soekarno. Panasnya menjalari jemarinya. Dia ingin memberikan kekuatan pada orang yang sangat dihormatinya ini.

Bibir Soekarno bergetar, tiba-tiba, masih dengan lemah, dia balik bertanya dengan bahasa Belanda. Sesuatu yang biasa mereka berdua lakukan ketika mereka masih bersatu dalam Dwi Tunggal.

Hoe gaat het met jou…?” Bagaimana keadaanmu?

Hatta memaksakan diri tersenyum. Tangannya masih memegang lengan Soekarno.

Soekarno kemudian terisak bagai anak kecil.

Lelaki perkasa itu menangis di depan kawan seperjuangannya, bagai bayi yang kehilangan mainan. Hatta tidak lagi mampu mengendalikan perasaannya. Pertahanannya bobol. Airmatanya juga tumpah. Hatta ikut menangis.

Kedua teman lama yang sempat berpisah itu saling berpegangan tangan seolah takut berpisah. Hatta tahu, waktu yang tersedia bagi orang yang sangat dikaguminya ini tidak akan lama lagi. Dan Hatta juga tahu, betapa kejamnya siksaan tanpa pukulan yang dialami sahabatnya ini. Sesuatu yang hanya bisa dilakukan oleh manusia yang tidak punya nurani.

“No…”

Hanya itu yang bisa terucap dari bibirnya. Hatta tidak mampu mengucapkan lebih. Bibirnya bergetar menahan kesedihan sekaligus kekecewaannya. Bahunya terguncang-guncang.

Jauh di lubuk hatinya, Hatta sangat marah pada penguasa baru yang sampai hati menyiksa bapak bangsa ini. Walau prinsip politik antara dirinya dengan Soekarno tidak bersesuaian, namun hal itu sama sekali tidak merusak persabatannya yang demikian erat dan tulus.

Hatta masih memegang lengan Soekarno ketika kawannya ini kembali memejamkan matanya.

Jarum jam terus bergerak. Merambati angka demi angka.

Sisa waktu bagi Soekarno kian tipis.

Sehari setelah pertemuan dengan Hatta, kondisi Soekarno yang sudah buruk, terus merosot. Putera Sang Fajar itu tidak mampu lagi membuka kedua matanya. Suhu badannya terus meninggi. Soekarno kini menggigil. Peluh membasahi bantal dan piyamanya. Malamnya Dewi Soekarno dan puterinya yang masih berusia tiga tahun, Karina, hadir di rumah sakit. Soekarno belum pernah sekali pun melihat anaknya.

Minggu pagi, 21 Juni 1970. Dokter Mardjono, salah seorang anggota tim dokter kepresidenan seperti biasa melakukan pemeriksaan rutin. Bersama dua orang paramedis, Dokter Mardjono memeriksa kondisi pasien istimewanya ini. Sebagai seorang dokter yang telah berpengalaman, Mardjono tahu waktunya tidak akan lama lagi. Dengan sangat hati-hati dan penuh hormat, dia memeriksa denyut nadi Soekarno. Dengan sisa kekuatan yang masih ada, Soekarno menggerakkan tangan kanannya, memegang lengan dokternya. Mardjono merasakan panas yang demikian tinggi dari tangan yang amat lemah ini. Tiba-tiba tangan yang panas itu terkulai. Detik itu juga Soekarno menghembuskan nafas terakhirnya. Kedua matanya tidak pernah mampu lagi untuk membuka. Tubuhnya tergolek tak bergerak lagi. Kini untuk selamanya.

Situasi di sekitar ruangan sangat sepi. Udara sesaat terasa berhenti mengalir. Suara burung yang biasa berkicau tiada terdengar. Kehampaan sepersekian detik yang begitu mencekam. Sekaligus menyedihkan.

Dunia melepas salah seorang pembuat sejarah yang penuh kontroversi. Banyak orang menyayanginya, tapi banyak pula yang membencinya. Namun semua sepakat, Soekarno adalah seorang manusia yang tidak biasa. Yang belum tentu dilahirkan kembali dalam waktu satu abad. Manusia itu kini telah tiada.

Dokter Mardjono segera memanggil seluruh rekannya, sesama tim dokter kepresidenan. Tak lama kemudian mereka mengeluarkan pernyataan resmi: Soekarno telah meninggal.(Rizki/bersambung)

Era Muslim

Waktu

Awal tahun Masehi dan awal tahun hijriyyah terjadi dengan selisih beberapa waktu saja. Kembang api, panggung hiburan, trompet, turut memeriahkan pergantian tahun baru masehi; di sisi lain, zikir, pengajian, santunan dan kegiatan sosial keagamaan lain turut serta dalam memeriahkan tahun baru hijriyyah. Sesuatu cara penyambutan antara dua tahun baru yang begitu berbeda sesuai dengan tergantung dengan siapa pelaku penyambutannya.
Seorang muslim bolehkan memperingati pergantian tahun baru masehi? Mungkin jawaban yang keluar akan baerbeda satu sama lain tergantung siapa yang menjawab.
Apakah juga kita boleh memperingati pergantian tahun baru hijriyyah? Lagi-lagi jawaban yang keluar bisa dipastikan berbeda.
Tetapi terlepas dari itu semua, saya hanya akan membahas tentang tahun baru ini dari sisi yang lain.
Sebagian orang ada yang mengatakan bahwa peringatan tahun baru, baik itu masehi atau pun hijriyyah adalah perbuatan yang sia-sia (kalau tidak pas dikatakan bid'ah). Mereka mengatakan bahwa Nabi Muhammad tidak pernah mencontohkannya dan tidak ada satu pun dalil yang mendukung kepada perbuatan tersebut.
Sebagian lagi mengatakan, "apa salahnya kalau saya berzikir, bermuhasabah bertepatan pada malam tahun baru, toh zikir dan muhasabah itu dianjurkan dalam Islam." Bahkan dengan adanya awal tahun banyak orang berharap bahwa di tahun baru yang segera dimasuki ini akan timbul suatu perubahan yang lebih baik, jauh dari bencana, dan lain sebagainya.
Sekali lagi saya saya akan membahasnya dari sisi yang lain.
Pertanyaan saya adalah, "kenapa momentum pergantian tahun baru yang menurut kita penting ini seolah luput dari perhatian Islam? Apakah Islam itu masih perlu penyempurnaan? Lalu kenapa di buku-buku Islam banyak beredar doa awal tahun, doa akhir tahun dan sebagainya?"
Menurut saya, justru kalau kita jeli Islam sangat peduli dan sangat memperhatikan momentum waktu sehingga atas namanya Allah SWT banyak bersumpah di dalam Al-Quran.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut ada dua poin yang saya kira perlu antipersonnel.
  1. Untuk menuju perubahan, Islam tidak menunggu waktu awal atau akhir tahun, tetapi harian. Bila hariannya bagus, Insya ALlah tahunannya juga bagus. Dalam sebuah hadits dikatakan bahwa barang siapa hari ini leih baik dari kemarin, ia beruntung; barang siapa hari ini sama dengan kemarin, ia rugu; dan barang siapa hari ini lebih buruk dari kemarin, ia celaka.
  2. Sebenarnya kalau kita mau berfikir, subyek perubahan bukanlah waktu, tetapi orang-orang yang mengisi waktu. Kalau ia pandai memanfaatkan waktu, ia bisa berubah. Dalam hadits yang lain dikatakan bahwa manfaatkanlah lima kesempatan sebelum datang lima kesempatan yang lain. Masa hidup sebelum mati; masa sehat sebelum sakit; masa kaya sebelum miskin; dan masa longgar/luang sebelum datang waktu sibuk.
Tercatat ada enam waktu yang dikenal dalam Islam:
  1. Malam
  2. Fajar
  3. Shubuh
  4. Dhuha
  5. Siang
  6. Sore
Saking pentingnya waktu-waktu tersebut, sehingga Allah SWT bersumpah atas namanya di dalam Al-Quran.
Sebegitu pentingnya waktu diperhatikan dalam Islam, sehingga sudah sepatutnyalah kita umat muslim merupakan orang yang paling menghargai waktu dan paling bisa menerapkan manajemen waktu dengan baik.
Begitu misteriusnya waktu sehingga terkadang ada orang yang sudah siap mati, keluarganya pun sudah pula merelakannya bila sewaktu-waktu yang bersangkutan mati, tetapi ternyata waktu kematian belum datang kepadanya. Di sisi lain, ada orang yang belum siap untuk mati, masih betah berlama-lama di dunia tetapi terbnyata ajal segera menjemputnya.

Paling tidak, ada tiga karakteristik yang berkaitan dengan waktu yang perlu kita perhatikan:
  1. Waktu itu akan terasa cepat berlalu, dan sangat terasa sekali bagi manusia penghuni bumi di akhir zaman. Ada yang mengatakan bahwa waktu itu bagaikan pedang. Bila tidak bisa mengendalikannya, terjadi senjata makan tuan. Kekuatan pedang bukan hanya pada ketajamannya, tetapi juga pada kecepatannya.
  2. Waktu yang berlalu tidak akan pernah kembali. Kita sebagai manusia, makhluk Allah SWT terikat dengan ruang dan waktu, sehingga apabila kita sudah melewatu suatu masa, masa tersebut ternyata tidak akan pernah kembali, hanya tinggal kenangan.
  3. Waktu merupakan sesuatu yang sangat berharga bagi manusia.
Sudahkan kita menafaatkan waktu dengan baik?
Bila tidak, hati-hati dengan bencana yang berkaitan dengan waktu:
  1. Lalai. Orang shalat pun belum dikatakan beruntung bila masih lalai dalam shalatnya. "Neraka Wail-lah bagi orang-orang yang shalat. Yaitu orang-orang yang lalai dalam shalatnya." Ingatlah, lalai menabung mengakibatkan bencana boke, lalai belajar berakibat bencana bodoh, lalai olah raga berakibat kirang vitnya kondisi badan.
  2. Kebiasaan menunda pekerjaan. "Dan janganlah kamu mengatakan, sesungguhnya aku akan melakukan hal tersebut esok hari." Ingatlah bahwa esok hari akan datang keawajiban lain, kesibukan lain. Bial sesuatu pekerjaan hari ini akan dilakukan esok hari, ingatlah esok hari Anda harus menggeser kewajiban lainnya demi pekerjaan yang seharusnya dikerjakan hari ini, danseterusnya. "Meninggalkan kewajiban umumnya dimulai dengan menunda-nunda; Melanggar kewajiban umumnya dimulai dari menawar-nawar."
  3. Menyalahkan waktu/keadaan. Kalau terjadi sesuatu janganlah kita mengkambing hitamkan waktu. Ada pepatah eropa yang mengatakan bahwa janganlah kamu menyalahkan cuaca, tetapi berbuatlah untuk beradaptasi dengannya. Ada juga pepatah yang mengatakan "Anda duduk-duduk, malaikat Izroil mengintai Anda."
Mari jadikan tantangan menjadi peluang!!

Disarikan dari Ta'lim Ahad Shubuh di Masjid Al-Hakim Bumi Serpong Damai tanggal 20 Januari 2008 bersama Ustadz Muchlish Abdi.